A Day In My Life
Hallo, this is a day in my life.
Mungkin ini terbaca sedikit aneh
karena biasanya orang-orang akan membuat video tentang harinya. Menjadikannya konten
kemudia menguploadnya di beberapa platform seperti tiktok, youtube atau ig. Namun
karena aku bukan orang yang pandai berbica dan berlagak di depan kamera, aku hanya
akan menuliskannya. Ya karena secara visual juga kurang oke, mungkin akan lebih
nyaman jika dibaca saja.
Buat kalian yang membacanya,
semoga saja tidak bosan ya…
Hari ini, Minggu 29 Mei 2022, aku
keluar dari zona nyaman ku saat ini. pagi hari menghadiri acara Talk Show
Muslimah dengan tema “Muslimah belajar, muslimah berdaya”. Acaranya diadakan
oleh komunitas baru di lingkunganku. Komunitas yang isinya sebaian besar aku
kenal, sebenarnya. Namun aku sebagai pribadi cenderung tidak ingin terlibat
dengan komunitas ini. Padahal dengan kesadaran penuh menyadari bagaimana besar
dan bernilainya setiap kegiatan yang mereka adakan.
Hari ini, aku memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dan ikut serta dalam
kegiatannya. Talk Show ini benar-benar menarik dan memotivasi. Ketua dari
komunitas ini membuat ku benar-benar kagum, beliau sangat keren, usia muda,
sudah menjadi seorang ibu dan telah menyelesaikan studi magisternya di salah
satu kampus ternama di Jawa Barat. Inspiratif sekali.
Talk show hari ini membicarakan
tetang bagaimana persiapan seorang muslimah ketika akan menikah. Disampaikan
dengan cukup menarik oleh seorang ustazah dengan 5 orang anak yang melihat
wajahnya saja, teduh sekali. Penyampaiannya masuk ke dalam akal pikiranku yang
biasanya cenderung menolak belajar agama dengan tidak berlandaskan logika yang
matang. Namun bukan berarti, keinganku untuk meikah juga besar. Mungkin saja
peserta dalam talk show tadi tertarik karna terlah bersiap-siap untuk menikah. Sementara
aku datang degan alasan "semoga ku temukan alasan untuk menikah".
Dari pemaparan ustazah tadi, sayangnya belum bisa mengilangkan 100% ketakutanku
akan pernikahan. Point penting yang ia sampaikan adalah, menikah adalah bagian
dari beribadah kepada Allah SWT sebagai penyempurna agama, sebagaimana tugas
seorang mahluk yang juga beribadah kepada Allah. Namun ini semua rasanya belum
cukup menjawab keraguan dan ketakutanku akan pernikahan itu sendiri.
Pemateri kedua menyampaikan
bagaimana menjadi muslimah yang produktif, dan itulah alasan ku sekarang duduk
di depan Laptop dan mulai mengetik apapun yang ada dalam pikiranku saat ini.
Salah satu hal yang beliau sampaikan adalah, produktivitas adalah bukan tentang
seberapa banyak yang kamu kerjakan melainkan seberapa banyak hal yang kamu
selesaikan. Hal ini sebenarnya adalah tamparan keras untukku yang sering kali
tidak menyelesaikan apa yang sudah ku mulai. Maka dari itu, apa-apa yang akan
ku mulai dari hari ini sampai kedepannya akan ku ambil sebagai tanggung jawab
dan semoga dapat menjadi amanah bagi pribadi, serta yang terpenting adalah
menjalaninya dengan istiqomah. Hal selanjutnya yang baru juga ku sadari setelah
menghari Talk Show hari ini adalah,sejatinya produktivitas adalah sebuah ouput
atau hasil yang sangat dipengaruhi oleh input. Again, aku menulis ini sekarang
karena apa yang terjadi hari ini sangat bermakna dalam proses berfikirku.
Hal lain yang harus disyukuri
hari ini dapat Dorprize, alhamdulillah suka banget.
Siangnya pulang dari tempat Talk
Show mampir JnT bentar, ngambil paket. seneng banget, akhirnya seprei ala-ala buat
dekor kamar nyampe juga. Alhamdulillah sepreinya sesuai dengan harapan, kainnya
halus dan nyaman.
Setelahnya aku membaca buku
tentang mental health karya Regis Machdy dengan judul Loving the Wounded Soul:
Alasan dan Tujuan Depresi Hadir di Hidup Manusia. Aku baru menghabiskan satu
bab pertama dan setengah bab di bab ke 2. Sejauh ini buku ini cukup nyaman di
baca dan sangat informatif. Penulis mengabungan pengalaman peribadinya dengan
ilmu psikologi yang ia miliki, sehingga buku ini terasa sangat bermakna di
setiap sub babnya. By the way, di awal buku penulis juga menjelaskan bahwa
membaca buku ini tidak harus runtut tiap babnya, pembaca bisa memilih bab mana
yang mungkin saat ini “relate” dengannya tanpa harus takut ada penjelasan di
bab sebelumnya yang terlewat. Namun demikian, sebagai pembaca aku memutuskan
untuk membacanya bab per bab. Membaca dengan metode seperti ini entah mengapa
membuatku lebih nyaman. Mungkin untuk selanjutnya aku akan menulis review
tentang buku ini.
Selanjutnya, di sore hari aku
menghadiri acara resepsi pernikahan seorang teman SD. Dibandingkan dengan
hariku biasanya, hari ini aktivitasku padat dan beragam. Sampai gedung sekitar
pukul 16.00 WITA, sudah ramai tamu undangannya, namun acara belum di mulai.
Salah satu yang tidak ku teliti sebelumnya adalah, ini bukanlah standing party,
yang dari sini saja sudah membuatku sedikit bête. Acara seperti ini pasti akan
menimbulkan kerumunan, dan ya aku benci sekali dengan kerumunan.
Benar saja, saat akan memberikan
selamat kepada kedua mempelai dan keluarga, tamu mendadak berkerumun. Aku yang
memang pada dasarnya takut kerumunan semakin ciut. Saat akhirnya keluar dan telah
memberi selamat kepada mempelai, seluruh badanku bergetar. Ketakutan. Lucu sekali,
padahal tidak ada yang berbuat anarkis. Tapi guess what? Aku bisa mengatasinya,
mencoba membuatnya benar-benar tidak terlihat walaupun yang ku inginkan hanya
pulang. Sialnya, harus bertemu dengan beberapa teman dan diajak berfoto
bersama. Ya Allaaaahhh, menangis saja rasanya.
Setelah hari yang panjang ini,
diperjalanan pulang yang sambil menangis aku mulai berfikir.
Dulu, saat masih menjadi siswa
dan mahasiswa aku adalah orang yang sangat berbeda. Firda yang dulu adalah
seorang pemberani, aktif, ceria, ramah kepada siapa pun, aku bahkan bisa
tersenyum 24/7. Dulu aku bisa dengan sangat semangat dan percaya diri saat
berada di keramaian atau di tengah kawan-kawan. Menjadi pusat perhatian juga
sangat ku sukai, berbicara lantang menyuarakan isi kepalaku. Sekarang, semuanya
berubah. Banyak hal terjadi di 2 tahun belakangan. Kepribadianku banyak
berubah. Aku lebih banyak insecure dan malu ketika melakukan banyak hal. Menjadi
jauh lebih pendiam, jarang tersenyum. Aku menjadi selalu takut dalam menghadapi
segala hal. Bicaraku menjadi gagap, bahkan tidak berani untuk sekedar bersuara.
Padahal kepalaku seperti akan pecah. Ribuan kosa kata tentang segala hal yang
ada di depanku terus menyerbu, saling berburu untuk bisa dikeluarkan. Namun,
sepertinya yang bisa keluarga hanya “iya, ngga, ngga papa, ngga mau, ngga suka,
oalah” atau beberapa kata singkat lainnya yang terkesan cuek dan dingin.
Comments
Post a Comment