Halu.
Aku ini terlalu mudah jatuh cinta, bahkan kepada tokoh fiksi dalam setiap novel yang aku baca. Aku jatuh cinta kepada Dilan dan Nathan, cowo badung dalam dua era yang berbeda. Kepada Mingke, remaja pribumi yang dengan kemampuan menulisnya punya kesempatan besar mendapatkan cinta seorang perempuan Belanda. Kepada Jati Wesi, manusia super dengan penciuman tajam yang memukau. Kepada Biru Laut, aktivis 98 yang menjadi korban penculikan rezim keji pada masanya namun tidak pernah mundur untuk meneriakan kata 'lawan'. Atau kepada Ajo Kawir, sopir truk antar provinsi yang telah diajarkan ketenangan oleh burungnya yang bahkan tidak bisa berdiri.
Tokoh-tokoh ini hanyalah segelintir 'orang' yang membuatku jatuh cinta dan tidak bisa berpaling untuk beberapa saat. Namun, jika saja mereka nyata aku tidak akan pernah berharap menjadi tokoh utama perempuan pengisi hari dari tokoh-tokoh ini. Aku akan menjadi pemeran pendukung dalam setiap kisah mereka. Menjadi tukang cuci piring, pedagang asongan, juru kamera atau penjaga tol? Mungkin. Aku tidak akan menjadi tokoh utama. Aku hanya akan menjadi orang kesekian dalam setiap cerita.
Dikehidupan nyata ku pun demikian. Menjadi orang yang bahkan tidak termasuk dalam alur cerita setiap orang. Namun aku ada, menjadi pengamati. Menganggumi betapa indahnya kisah cinta dua insan yang jatuh cinta.
Karena ini aku mulai sadar, tokoh utama yang selalu membuatku jatuh cinta itu, tidak akan pernah sama jika ia jatuh cinta pada orang yang berbeda. Dilan yang ku kenal bukanlah Dilan yang bersemayam di otakku sekarang jika tidak jatuh cinta kepada Milea. Begitu juga yang lainnya, baik dalam fiksi maupun real life.
Dear you guys. Aku adalah manusia halu, yang hanya sampai pada batas 'halu' itu. Tidak akan lebih dan tidak juga berniat lebih. Dan, aku menyukai ini.
Comments
Post a Comment