Makalah Jual Beli

KATA PENGANTAR
      Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan rahmat-Nya sehingga saya bias menyelesaikan makalah Fikih Muamalah yang berjudul “Jual Beli”.
      Dalam penyusunan laporan ini saya telah berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan saya. Namun sebagai manusia biasa, saya tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan maupun tata bahasa.Tetapi walaupun demikian saya berusaha sebisa mungkin menyelesaikan makalah ini meskipun tersusun sangat sederhana.
      Dalam makalah ini membahas tentang pengetian jual beli, rukun dan syarat jual beli, syarat-syarat akad jual beli, macam-macam jual beli, dan khiyar dalam jual beli. Saya menyadari tanpa kerjasama antara guru pembimbing yang memberi berbagai masukan yang bermanfaat bagi saya demi tersusunnya lapoaran ini. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada pihak yang tersebut diatas yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan saran demi kelancaran penyusunan makalah ini.
      Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi teman-teman sekalian. Saya mengharapkan saran serta kritik dari berbagai pihak yang bersifat membangun.




Malang, 2 januari 2016





Firdaningsih

 






BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Agama islam sebagai agama yang sempurana telah mengatur segala segi dan aspek kehidupan pemeluknya. Mulai hubungan antar manusia dengan sang penciptanya-Nya, hbungan manusia dengan sesama manusia, sampai hubungannya dengan alam sekitarnya telah diatur dan diajarkan. Hubungan antar manusia melahirkan banyak cabang ilmu islam, yang salah satunya adalah fikih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.
Untuk memenihi kebutuhannya sehari-hari setiap manusia pasti akan melakukan suatu transaksi jual beli. Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya. Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain). Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah. Sebelum melakukan jual beli ini telah ada ulat tukar yang telah disepakati oleh semua orang tidak hanya yang melakukan jual beli tetapi masyarakat umum.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian  jual beli ?
2.      Apa saja yang menjadi Rukun dan syarat jual beli
3.      Apa saja yang menjadi syarat-syarat ijab Kabul ?
4.      Apa saja jenis jual beli ?
5.      Bagaimana khiar dalam jual beli ?

C.    Tujuan

1.      Mengetahui pengertian jual beli
2.      Mengetahui rukun dan syarat jual beli
3.      Mengetahui syarat-syarat ijab Kabul
4.      Mengetahui macam-macam jual beli
5.      Mengetahui khiar dalam jual beli


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Jual Beli

Pada umumnya orang memerlukan benda yang ada pada orang lain (pemiliknya) dapat dimiliki dengan mudah, tetapi pemiliknya kadang-kadaang tidak mau memberikannya. Adanya syariat jual beli menjadi wasilah (jalan) untuk mendapatkan keinginan tersebut, tanpa berbuat salah. Jual beli menurut bahasa artinya menukar kepemilikan barang tersebut atau salaing tukar menukar. Kata al-bai’ (jual) dan al-syira’ (beli) dipergunakan dalam pengertian yang sama. [1]
Menurut istilah (terminologi), yang dimaksud dengan jual beli adalah sebagai berikut.
1.      Menukara barang dengan barang atau barang dengan uangg yang dilakukan dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lainatas dasar saling merelakan.
2.      Pemilikan harta benda dengan jalan tukar menukar yang sesuai dengan aturan syara’.
3.      Saling tukar, saling menerima, dapat dikelola (tasharrruf) dengan ijab Kabul, dengan cara yang sesuai dengan syariat.
4.      Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan).
5.      Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan
6.      Akad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.
Menurut Ulama Malikiyah ada dua macam, yaitu jual beli yang bersifat umum dan jual beli yang bersifat khusus. Jual beli dalam arti umum ialah suatu perikatan tukar-menukat sesuatu yang bukan kemanfaatan dan kemikmatan. Perikatan, adalah akad yang mengikat kedua belah pihak, tukar-menukar yaitu salah satu pihak lain, dan sesuatu yang bukan manfaat iakah bahwa benda yang ditukarkan adalah zat (berbentuk), ia berfungsi sebagai objek penjualan, jadi bukan manfaatnya atau bukan hasilnya.
Jual beli dalam arti khusus ialah ikatan tukar-menukar sesuatu yang bukan manfaatan dan bukan pula kelezatan yang mempunyai daya tarik, penukarannya bukan emas bukan pula perak, bendanya dapat direalisir da nada disekitar (tidak ditangguhkan), bukan merupakan utang (baik barang itu ada di hadapan si pembeli maupun tidak), barang yang sudah diketahui sifat-sifatnya atau sudah diketahui terlebih dahulu.[2]
Dalam pandangan islam, jual beli dianggap sebagai sarana dalam tolong menolong buat sesame manusia. Jual beli tidak hanya dilihat sebagai mencari keuntungan semata, tetapi juga dipandang sebagai sarana untuk membantu sesama saudara. Penjual membantu pembeli untuk memenuhi kebutuhannya sedangkan pembeli membantu penjual untuk memperoleh keuntungan sebagai nafkah bagi penjual. Maka dari itu, jual beli dianggap sebagai kegiatan yang mulia karena ada unsur tolong menolong di dalamnya.
Hukum Islam mengadakan aturan-aturan bagi keperluan-keperluan manusia untuk membatasi keinginan-keinginan, hinggamemungkinkan manusia memperoleh maksudnya tanpa memberi mudharatkepada orang lain.Dapat dipahami, bahwa inti dari jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menerima benda dan pihak lain yang menerima harga sesuai dengan perjanjian (ketentuan yang telah dibenarkan syara’dan disepakati).

B.     Rukun dan Syarat Jual Beli

Dalam jual beli terdapat rukun dan syarat-syarat tertentu. Rukun dan syarat itu adalah sebagai berikut.
1.      Rukun
a)      Adanya  pihak penjual dan pembeli. Yang dimaksud dengan adanya penjual dan pembeli ialah ada dua pihak yang melakukan transaksi. Jual beli tidak dapat terlaksana jika hanya ada pihak penjual saja atau pun pihak pembeli saja. Jika hanya ada pihak penjual, maka barang dagangannya tidak akan ada yang beli. Sedangkan jika hanya ada pihak pembeli, maka tidak aka nada barang yang dapat dibeli.
b)      Adanya uang dan benda. Uang sebagai alat tukar yang sah dan benda sebagai sesuatu yang ditukarkan.
c)      Adanya lafal. Lafal ialah ucapan dari kedua belah pihak antara pembeli dan penjual. Misalnya, ucapan dari pembeli yang menginginkan barang dan ucapan dari penjual yang merelakan barangnya untuk dibeli.
2.      Syarat
a)      Subjeknya
Kedua belah pihak subjek harus memunahi syarat-syarat berikut;
Pertama, kedua belah pihak harus berakal. Jika kedua belah pihak tidak berakal atau gila, maka jual beli tidak dianggap sah.
Kedua, dengan kehendak sendiri alias tidak ada paksaan. Jadi, baik pihak pembeli mau pun penjual harus sama-sama melakukan transaksi dengan kehendaknya sendiri bukan ada paksaan dari pihak ketiga atau pun pihak yang lain. Allah swt. Berfirman:
Hai orang –orang yang berimana, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan keadaan suka sama suka diantara kamu …” (QS. An-Nisa ayat 29)
Ketiga,keduanya tidak mubazir. Pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang boros
Keempat, baligh.Baik dari pihak penjual mau pun pihak pembeli harus telah melewati masa balighnya masing-masing.
b)      Objeknya
Pertama, bersih barangnya. Ialah barang yang diperjualbelikan bukanlah benda yang dikualifikasi sebagai benda najis, atau digolongkan sebagai benda yang diharamkan. Hal itu didasarkan pada ketentuan: Dari Jabin Bin Abdullah, berkata Rasulullah SAW: ….. “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak (minuman yang memabukkan) dan bangkai, begitu juga babi dan berhala …” (Sepakat ahli hadis)
Kedua, dapat dimanfaatkan. Kemanfatan barang tersebut sesuai dengan hukum dan syariat Islam. Maksudnya memanfaatkannya sesuai dengan ketentuan norma agama.
Ketiga, milik orang yang melakukan akad. Maksudnya bahwa orang yang melakkan perjanijian jual beli atas sesuatu barang adalah pemilik sah barang tersebut dan telah mendapat izin dari pemilik sah barang tersbut.
Keempat, mampu menyerahkan. Maksunya penjual (sebagai pemilik maupun sebagai kuasa) dapat menyerahkan barang yang dijadikannya sebagai objek jual beli sesuai dengan bentuk dan jumlah yang dieprjanjikan pada waktu penyerahan barang kepada pembeli.
Kelima, mengetahui. Maksudnya melihat sendiri keadaan barang, baik mengenai takaran, timbangan dan kualitasnya.
Keenam, barang yang diakadkan di tangan. Menyangkut perjanjian jual beli atas sesuatu barang yang belum ditangan (tidak berada dalam penguasaan penjual).

C.    Syarat-Syarat Sah Ijab Kabul

Sebelumnya, mungkin kita pernah bertanya-tanya sah kah suatu transaksi tanpa adanya Ijab Kabul? Atau apakah Ijab Kabul itu? Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh salah satu diantara pihak penjual atau pun pihak pembeli. Misalnya penjual berkata, “Barang ini saya jual.” Atau pembeli yang berkata, “Saya mau beli barang ini.” Maka perkataan tersebut tergolong sebagai Ijab. Sedangkan Kabul ialah pernyataan menerima dari kedua belah pihak.
Selanjutnya, apakah suatu transaksi jual beli dianggap sah apabila tidak dilakukan dengan Ijab Kabul (Jual beli Mu’athoh)? Jawabannya adalah, tidak sah karena jual beli wajib dilakukan dengan Ijab Kabul.  Asy Syairozi mengatakan, “Tidaklah sah akad jual beli kecuali adanya ijab dan qobul. Adapun akad mu’athoh tidaklah sah dan tidak disebut jual beli.” Imam Nawawi menegaskan tentang perkara ini, “Pendapat yang  masyhur dalam madzhab Syafi’i, jual beli tidaklah sah kecuali dengan adanya ijab dan qobul. Sedangkan jual beli mu’athoh tidaklah sah baik bentuknya sedikit maupun banyak.”
Shighat atau ijab Kabul, hendaknya diucapkan oleh penjual dan pembeli secara langsung dalam suatu majelis. Syarat-syarat sahnya ijab Kabul ialah sebagai berikut.
1.      Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja stelah penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.
2.      Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab Kabul.
3.      Beragama islam, syariat ini khusus untuk pembeli benda-benda tertentu. Misalnya seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli non muslim, karena akan merendahkan abid yang Bergama islam.
4.      Berhadap-hadapan, pembeli dan penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya yakni harus sesuai dengan orang yang dituju.
Dengan demikian tidak sah berkata, “Saya menjual kepadamu!”. Tidak boleh berkata, “Saya menjual kepada Ahmad”, padahal nama pembeli bukan Ahmad.
5.      Ditujukan pada seluruh badan yang akad, tidak sah berkata, “Saya menjual barang ini kepada kepala atau tangan kamu”.
6.      Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab, orang yang mengucapkan qabul haruslah orang yang diajak bertransaksi oleh orang yang mengucapkan ijab kecuali jika diwakilkan.
7.      Harus menyebutkan barang dan harga
8.      Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
9.      Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna, jika seseorang yang sedang bertransaksi itu gila sebelum mengucapkan, jual beli yang dilakukannya batal.
10.  Tidak berubah lafazh, lafazh ijab tidak boleh berubah seperti perkataan, “Saya jual dengan 5 dirham”, kemudian berkata lagi, “Saya menjualnya dengan 10 dirham”, padahal barang yang dijual masih sama dengan barang yang pertama dan belum ada qabul.
11.  Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
12.  Tidak dikaitkan dengan sesuatu, akad tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak ada hubungan dengan akad.
13.  Tidak dikaitkan dengan waktu
Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad ialah sebagai berikut.
1.      Suci atau mungkin untuk disucikan, sehingga tidak sah penjualan benda-benda najis, seperti anjing, babi, dan  yang lainnya.
2.      Memberi manfaat menurut syara’. Dilarang jual beli benda yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’, seperti menjual babi, kala, cicak dan sebagainya.
3.      Jangan ditaklikan, yaitu dikaitkan atau digantungkan kepada hal-hal lain, seperti jika ayahku pergi, ku jual motor ini.
4.      Tidak dibatasi waktunya, seperti perkataan saya menjual motor ini kepada tuan selama satu tahun, maka penjualan tersebut tidak sah, sebab jual beli merupakan salah satu sebab pemilikan secara penuh yang tidak dibatasi apapun kecuali ketentuan syara’.
5.      Dapat diserahkan dengan cepat maupun lambat
6.      Milik sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain tanpa seizing pemiliknya atau barang-barang yang baru akan menjadi miliknya.
7.      Diketahui (dilihat). Barang yang diperjualbelikan harus dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya, atau ukuran-ukuran yang lainnya. Tidaklah sah melakukan jual beli yang menilmbulakan keraguan salah satu pihak.

D.    Macam-Macam Jual Beli

1.      Ditanjau dari pertukaran
a)      Jual beli salam (pesanan) yaitu uang diserahkan diawal (uang muka) kemudian barang diterima belakangan.
b)      Jual beli muqayyah (barter) yaitu menukarkan barang dengan barang. Bukan uang dengan barang.
c)      Jual beli muthlaq yaitu menukarkan alat tukar yang telah disepakati dengan barang. Alat tukar yang pada umumnya disepakati adalah Uang, Dinar, dan Dirham.
d)     Jual beli alat tukar dengan alat tukar yaitu uang dibeli dengan uang. Kegiatan ini pada umumnya berlangsung di bank atau pun money changer.
2.      Ditanjau dari hukum
a)      Jual beli sah (halal) yaitu jual beli yang sah secara ketentuan syariat.
b)      Jual beli fasid (rusak) yaitu jual beli yang pada dasarnya secara syariat sah namun tidak sah pada sifatnya.
c)      Jual beli batal (haram), berikut jenis-jenis jual beli yang haram:
1)      Jual beli dengan cara ‘Inah dan Tawaruq yaitu jual beli dengan menggunakan tempo lalu barangnya diserahkan kepada pembeli. Namun, sang penjual membeli kembali barang tersebut sebelum barangnya lunas dengan harga yang lebih murah dari harga yang disepakati sebelumnya.
2)      Jual beli sistem salam (ijon) yaitu barangnya diakhirkan, uangnya didepan.
3)      Jual beli dengan menggabungkan dua akad dalam satu transaksi yaitu contohnya, “Saya menjual rumahku, dengan syarat saya meminjam mobilmu beberapa bulan.”
4)      Jual beli secara paksa yaitu orang yang melakukan jual beli dengan memaksa dalam akad atau pun orang melakukan jual beli secara terpaksa karena sedang terbelit utang.
5)      Jual beli sesuatu yang tidak dimiliki dan menjual sesuatu yang telah dibeli namun belum diterima.
d)     Jual beli yang dilarang dalam islam
1)      Jual beli yang menjauhkan dari ibadah. Misalnya kita melakukan perdagangan sampai kita lalai dalam menjalankan kewajiban.
2)      Menjual barang-barang yang pada dasarnya haram. Misalnya, seseorang yang menjual babi, atau orang yang menjual khamr, maka jual beli itu haram dan jelas dilarang.
3)      Menjual barang-barang yang tidak dimiliki yaitu menjual atau pun membeli barang yang tidak dimiliki oleh penjual. Sang pembeli menyerahkan uang namun barangnya tidak dimiliki oleh penjual.
4)      Jual beli ‘inah yaitu orang yang menjual barangnya secara kredit namun kembali membeli barang yang dijual dengan harga yang lebih murah sebelum barang itu lunas dibayar oleh pembeli.
5)      Jual beli najasy yaitu melakukan penawaran yang lebih tinggi namun barangnya tidak dibeli. Hal ini dimaksudkan agar barang tersebut tidak ada yang beli.
6)      Penjualan di atas penjualan orang lain yaitu seseorang yang menjualkan barangnya padahal barang tersebut sudah deal dengan pembeli yang lain. Hal ini disebut sebagai penjualan di diatas penjualan orang lain maka hal ini tidak diperbolehkan.
7)      Jual beli secara gharar atau penipuan yaitu orang yang menjual barang yang sudah tidak layak atau cacat kepada orang lain. Hal ini disebut sebagai gharar karena barang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pembeli
3.      Ditinjau dari bendanya:
a)      Bendanya kelihatan yaitu pada waktu melakukan akad jual beli, barang yang diperjual belikan ada di depan penjual dan pembeli.
b)      Sifat-sifat bendanya disebutkan dalam janji yaitu barangnya sesuai dengan yang disebutkan oleh penjual dan disetujui oleh pembeli.
c)      Bendanya tidak ada atau tidak kelihatan. Bila jual beli tanpa benda, maka tentu saja akan merugikan salah satu pihak. Begitu pula dengan bertransaksi membeli sayuran yang masih ditanam dalam tanah seperti wortel. Walaupun bendanya ada, namun tidak Nampak.  Hal ini dilarang dalam islam.
4.      Ditinjau dari subjek atau pelaku:
a)      Dengan lisan.
b)      Dengan perantara.
c)      Dengan perbuatan.
5.      Ditinjau dari harga:
a)      Jual beli yang menguntungkan (al-murabahah)
b)      Jual beli yang tidak menguntungkan yaitu dengan menjual barang sesuai dengan harga belinya.
c)      Jual beli rugi (al-kharasah)
d)     Jual beli al-musawah yaitu penjual menjual dengan merahasiakan harga aslinya namun pembeli setuju.
6.      Ditinjau dari pembayarannya:
a)      Al-Murabahah (jual beli dengan pembayaran dimuka)
b)      Bai’as Salam (jual beli dengan pembayaran tangguh)
c)      Bai’al istishna (jual beli berdasarkan pesanan)

E.     Khiyar dalam Jual Beli

Makna Khiyar berarti boleh memilih antara dua, apakah akan meneruskan jual beli atau mengurungkannya (membatalkannya). Menurtt ulama fikih, pengertian khiyar adalah suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya (menjadikan atau membatalkan) jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib, ru’yah,  atau hendaklah memilih diantara dua barang jika khiyar ta’yin.[3]
Fungsi khiyar menurut syara’ adalah agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan dampak positif negative masing-masing  dengan perdagangan ke depan, supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian hari yang disebabkan merasa tertipu atau tidak adanya kecocokan dalam membeli barang yang telah dipilih. Khiyar terbagi menjadi tiga, yaitu khiyar majlis, khiyar syarat dan khiyar ‘aib. Berikut adalah uraiannya.
1.      Khiyar majlis
Khiyar majlis, artinya penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat (majlis), khiyar majlis boleh dilakukan dalam jual beli. Rasulullah saw bersabda:
“penjual dan pembeli boleh khiyar selama belum terpisah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bila keduannya telah terpisah dari tempat akad, maka khiyar majlis tidak berlaku lagi, atau batal. Menurut Ulama fikih, khiyar majlis adalah hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad, selagi masih berada di tempat akad dan kedua pihak belum berpisah. Keduannya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.
Khiyar majlis ini dikenal di kalangnan ulama syafi’iyah dan Hanabilah. Berkenaan dengan khiyar majlis, pendapat para ulama terbagi atas dua bagian, sebagai berikut.
a)      Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad akan dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan Kabul, serta tidak bisa hanya dengan khiyar, sebab Allah swt, menyuruh untuk menepati janji.
Selain itu, suatu akad tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya keridhaan, sedangkan keridhaan hanya dapat diketahui dengan ijab Kabul. Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat digantungkan dengan khiyar majlis, sebab mereka tidak mengakuinya. 
b)      Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
Ulama syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat adnya khiyar majlis. Kedua golongan ini berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab kabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selahi keduannya masih berada ditempat atau belum berpisah badannya. Kedua nya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan atau saling berpikir. Adapun batasan dari kedua kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia dalam bermuamalah.
2.      Khiyar syarat
Khiyar syarat yaitu penjualan yang di dalamnya disyaratkan sesuatu, baik oleh penjual maupun pembeli, seperti seorang berkata, “saya jual rumah ini dengan harga Rp. 100.000.000,00. Dengan syarat khiyar selama tiga hari. [4]
Rasulullah saw, bersabda :
“kamu boleh khiyar pada setiap yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam”. (HR. Baihaqi)
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fikih adalah suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki ha katas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.
Misalnya, seorang berkata: “saya beli dari Anda barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih-pilih) selama sehari atau tiga hari.”
3.      Khiyar ‘aib
a)      Arti dan landasan khiyar aib
Arti khiyar aib (cacat) menurut ulama fikih adalah keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar-menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.
Dengan demikian, penyebab khiyar aib adalah adanya cacat pada barang yang dijualbelikan (ma’qud ‘alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud,atau oaring yang akad tidak meneliti kecacatannya ketika akad berlangsung.
b)      Aib mengharuskan khiyar
Ulama Hanafiyah dan Hanablah berpendapat, bahwa aib pada khiyar adalah segala sesuatu yang menujukan adanya kekurangan dari alinya. Misalnya, berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut Ulama Syafi’iyah, khiyar adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongannya tidak sesuai, atau adanya cacat pada bina yang hendak dipotong.
c)      Syarat tetapnya khiyar
Disyaratkan untuk tetapnya khiyar aib selain setelah diadakan penelitian yang menunjukan hal-hal berikut ini.
1)      Adanya aib setelah akad atau sebelum diserahkanya, yakni aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, aib tersebut tidak tetap.
2)      Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad berlangsung dan menerima barang,. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang, maka tidak ada khiyar, sebab ia dianggap telah ridha.
3)      Pemilik barang tidak mensyartkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkan, gugurlah hak khiyar. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah seta salah satu riwayat dari Hanabilah berpendapat bahwa seoarang penjual tidak sah minta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan aib, apabila aib tersebut sudah diketahui oleh keduannya, kecuali jika aib tidak diketahui oleh pembeli, maka boleh complain kepada penjual.



BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

1.      Jual beli adalah suatu aktivitas penukaran kepemilikan suatu barang.
2.      Dalam jual beli terdapat rukun dan syarat tertentu yang harus dipenuhi.
3.      Shighat atau ijab Kabul dalam jual beli harus memenuhi syarat-syarat tertentu
4.      Jual beli ada banyak macamnya
5.      Khiyar dalam jual beli adalah hak seorang penjual atau pembeli untuk meneruskan atau membatalkan akad jual beli karena suatu hal

B.     Saran

Dalam jual beli hendaknaya dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat Islam serta tidak melakukan kecurangan dalam prakteknya. Dalam aktivitas jual beli diperlukan kejujuran, keadilan, toleransi, kerdhoan dan rasa saling tolong menolong antara penjual dan pembeli.












DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Muhammad. 1977. Tuntunan Berjual Beli Menurut Hadist Nabi. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Suhendi, Hendi. 2014.  Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarsono, A. Munir. 2001. Dasar-dasar Agama Islam. Jakarta: Rineka Cipta.
Sohari Suhrani dan Abdullah, Ru’fah . 2011. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia.



Comments

Popular posts from this blog

Surat Al-baqarah (148 dan 177), Fatir (32), Al-Isra' (26-27) dan terjemahan

Contoh Penulisan Daftar Pustaka

Delusi